Jumat, 16 Januari 2009

KIAT Enam Jurus Meliput Konflik

Delapan tahun paska tumbangnya Soeharto, konflik di tanah air masih tak padam. Mulai Aceh, Poso, Ambon sampai Papua, benturan terus berkobar. Mau tidak mau, jurnalis terseret ke garis depan. Bagaimana sih meliput konflik dan tak jadi korban?

SEJAK awal berdirinya, organisasi jurnalis sedunia, International Federation Journalist (IFJ), menaruh perhatian lebih pada keselamatan jurnalis yang meliput di daerah konflik. Karena itulah, berdasarkan rangkuman pengalaman jurnalis senior di berbagai media internasional, lembaga ini getol merilis panduan peliputan di daerah konflik, yang terus diperbarui sesuai perkembangan terkini.

Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah enam jurus peliputan di daerah konflik, berdasarkan pelatihan jurnalis sadar konflik yang diadakan IFJ di Sri Lanka. Negara di kaki anak benua India itu memang berpuluh tahun dikoyak konflik dengan gerilyawan Tamil.

Keenam jurus ini layak diperhatikan jurnalis di tanah air. Meski bisa jadi anatomi konflik di negeri kita berbeda, tapi pedoman umum ini bisa jadi kompas dalam melaporkan situasi berbahaya. Berikut keenam kiat itu:

Pertama, jurnalis harus mengerti konflik yang diliputnya. Dengan memahami apa yang menjadi akar masalah, maka jurnalis juga bisa mengerti dan menganalisa berbagai kemungkinan jalan keluar atas konflik itu.

Kedua, jurnalis harus membuat berita dengan berimbang. Untuk mencapai taraf imparsialitas yang optimal, jurnalis harus melaporkan segala sesuatu yang ada atau yang terjadi dalam peliputannya di daerah konflik, dengan jernih dan jelas.

Ketiga, jurnalis harus memberitakan atau melaporkan latar belakang dan semua kasus yang berkaitan dengan konflik itu, secara akurat. Tanpa kenal lelah, jurnalis harus terus mengingatkan masyarakat apa yang jadi pokok persoalan konflik. Ini jauh lebih penting daripada melulu menggambarkan efek negatif konflik tanpa gambaran penyelesaian, yang bisa jadi justru melanggengkan persoalan.

Keempat, jurnalis berkewajiban menggambarkan sisi kemanusiaan konflik. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengangkat cerita tentang trauma korban. Tapi, jangan sampai ada eksploitasi korban.

Kelima, jurnalis harus memberitakan usaha-usaha perdamaian sebagai jalan keluar konflik.
Keenam, jurnalis harus selalu berhati-hati menimbang dampak pemberitaannya dan pengaruhnya pada keselamatan jiwa mereka yang berada di daerah konflik.(kutip,www.geocities.com/ ajijakarta/juni/kiat.jpg)

Tidak ada komentar: