Minggu, 18 Januari 2009

Cara Mempengaruhi Orang

Terjemahan bebas dari "6 Weapons of Influence" oleh:
Patricia Fripp, CSP, CPAE and David Palmer, Ph.D, CPA
Fripp Public Speaking School

Mengapa orang mengatakan "Ya"?

Karena mereka terpengaruh oleh lawan bicaranya. Dan dalam berbicara,
Anda akan sangat berkepentingan untuk mempengaruhi orang lain.

Anda ingin audience Anda mengatakan "ya".

David Palmer yang pakar pengembangan organisasi dan pemasaran
mengatakan, "Beruntunglah kita, karena orang cenderung mengatakan 'ya'
atau menyetujui sesuatu dalam banyak hal. Orang cenderung
mengatakannya tanpa banyak berpikir, karena kata itu bisa membuat
hidup mereka menjadi lebih sederhana dan lebih lunak pada diri mereka.
Apa yang menjadi masalah, adalah setiap orang yang terlanjur
memprogram dirinya untuk cenderung mengatakan 'tidak', tanpa
memikirkannya terlebih dahulu."

Enam tips berikut ini sangat efektif untuk mempengaruhi audience Anda.
Enam hal inilah yang bisa menjadi pemicu emosi audience, sebagaimana
disebutkan dalam buku Robert Cialdini "Influence, Science and
Practice" (Allyn & Cacon, 2000).

1. RESIPROKAL

Kita semua, seperti gambaran di atas, telah diajar sejak kecil untuk
membalas kebaikan orang dengan kebaikan pula. Setidaknya, kita diajar
untuk mengucapkan terimakasih hampir dalam segala hal. Dengan bekal
yang menjadi karakteristik rata-rata itu, maka hidup kita kini
dipenuhi dengan berbagai interaksi resiprokal (saling balas) yang
sangat positif.

Hidup adalah memberi dan menerima. Dan untuk menjadikan fenomena itu
tetap sebagai fenomena yang positif, kita semua dianjurkan untuk
menjadi pihak yang pertama dalam memberi. Dengan memberi, kita akan
menerima.

Hal yang sama juga berlaku untuk fenomena berbicara. Sampaikanlah apa-
apa yang bernilai positif untuk audience Anda, maka Anda akan
mendapatkan apa yang Anda inginkan sebagai pembicara. Mengapa? Karena
dagangan yang paling laris di dunia saat ini, adalah "informasi yang
berguna".

Bagaimana jika Anda tidak mendapatkan balasannya?

Di sinilah kegunaan dari rasa ikhlas bagi Anda. Berilah, dan
ikhlaslah. Setidaknya, apa yang Anda berikan bisa menjadi sedekah, dan
pastilah Anda akan mendapatkan balasannya "nanti" dan "di sana".

Jadilah pemberi, maka audience akan menyediakan diri.

2. KOMITMEN DAN KONSISTENSI

Setiap kali orang membuat pilihan, menentukan posisi, atau membuat
komitmen, mereka akan dikontrol secara internal dan sekaligus
eksternal, oleh keharusan untuk bersikap konsisten dengan pilihan dan
komitmennya tersebut.

Kata-kata Anda sebagai pembicara, sangat powerful untuk menciptakan
aspek kontrol itu. Untuk membuat audience menentukan posisi, membuat
pilihan, dan mengatakan "ya!".

Jika Anda sebagai pembicara bisa membuat audience berkomitmen dan
mengatakan "ya" secara verbal, maka kemungkinannya sangat besar bahwa
mereka memang benar-benar akan melakukannya.

Bangun komitmen dan konsistensi, Anda akan diikuti.

3. PEMBUKTIAN SOSIAL

Secara umum kita akan membenarkan sesuatu, jika kita mengetahui bahwa
orang lain juga membenarkannya. Lebih spesifik lagi, fenomena ini erat
sekali kaitannya dengan aspek perilaku manusia. Bahkan, jika ada
banyak sekali orang yang mengatakan "ya", maka kita cenderung untuk
beranggapan bahwa apa yang di-"ya"-kan itu adalah sesuatu yang benar
adanya. Apalagi, jika mereka adalah para influencer seperti orang
terkenal, tokoh panutan, orang yang berhasil dan sebagainya. Fenomena
ini akan menciptakan efek yang jauh lebih besar, dalam situasi yang
serba tak pasti.

Sebagai pembicara, Anda harus bisa mendapatkan legitimasi dan
referensi sebanyak-banyaknya. Pengaruh Anda akan makin besar dan makin
tumbuh. Jika Anda penjual, sampaikanlah referensi dari para pengguna
produk Anda. Jika Anda pembicara seminar, ceritakanlah berbagai hal
positif yang terjadi dalam seminar-seminar Anda. Jika Anda pemimpin,
ceritakanlah berbagai keberhasilan dari orang-orang yang Anda pimpin.

Ciptakan referensi, maka Anda akan menjadi preferensi.

4. RASA SUKA

Orang cenderung mengatakan "ya" pada orang yang disukainya. Jika isi
bicara Anda menuntut orang lain untuk mengatakan "ya", maka Anda harus
bertanya, "Apakah mereka menyukai pribadi Saya?" Untuk bisa disukai,
Anda harus bisa menyamakan banyak hal dengan mereka. Kesamaan adalah
sumber kesukaan. Kesukaan akan membuat mereka mengatakan "ya".

Trik yang ini sedikit nakal. Orang pada dasarnya senang dipuji. Maka,
banyak-banyaklah memuji orang. Mereka akan senang kepada Anda, mau
mendengarkan Anda dan akhirnya akan mengatakan "ya!".

Untuk bisa disukai, Anda juga harus sering-sering melakukan kontak
dengan mereka. Dalam bahasa bisnis ini namanya networking, dalam
bahasa agamis disebut silaturahim.

Jadilah orang yang disukai, maka Anda akan menjadi orang yang ingin
didengar dan bisa mempengaruhi.

5. OTORITAS

Otoritas bisa berarti realitas (sebagai pemimpin struktural) atau
implikasi (menjadi orang yang disegani). Otoritas akan mempengaruhi.

Masukkan aspek otoritas ke dalam sesi bicara Anda. Kutipkan kata-kata
orang besar dan terkenal, sampaikanlah apa yang disampaikan para
pemimpin, dan ungkapkanlah apa yang dicapai pebisnis yang memimpin.
Ini juga akan ikut membangun otoritas Anda.

Lebih dari itu, bangun otoritas Anda sendiri secara unik. Tampil dan
bertindaklah sebagai otoritas. Maka Anda akan mempengaruhi.

6. KELANGKAAN

Jadilah orang yang langka, Anda akan dicari orang dan bisa
mempengaruhi. Kelangkaan mencerminkan potensi untuk kehilangan.
Potensi kehilangan sesuatu lebih bisa memotivasi dari pada potensi
mendapatkan sesuatu. Jadilah diri Anda sendiri, karena hanya ada 1
Anda di dunia ini. Andalah yang paling langka. Dan logikanya, Andalah
yang semestinya paling bisa mempengaruhi.

Jumat, 16 Januari 2009

Mahasiswi Lelang Keperawanan, Sudah Ditawar Rp 40 Miliar Belum Dilepas


Pagi ini saya terkejut ketika membaca situs http://www.surya.co.id mengenai pemberitaan tentang seorang Mahasiswi melelang Keperawanan hanya untuk biaya kuliah. Kalau di pikir-pikir dengan akal sehat dan logika, begitu murahnya harga dari keperawanan seorang wanita. Hanya karena butuh uang harus rela menjual keperawanan. Data yang ku baca saat ini sudah ada yang menawar 40 milyar, namun keperawan belum dilepas. Sangat fantastik dan sunggu tak mengira orang mau keluar duit begitu banyak demi mendapatkan keperawanan, bahkan ketika keperawanan tidak begitu dihargai.

Apakah ini kekuatan dari uang atau hanya sekedar mencari sensasi. Tapi inilah fakta yang saat ini terjadi. Diera modern dan banyak orang mengaku berotak cerdas dan pintar ternyata uang tetap menjadi penguasa. Apakah ini berlaku juga bagi nafas kehidupan. Apakah ada yang tertarik untuk membeli umur seseorang??...Pertanyaan yang tidak masuk diakal dan mungkin terkesan "stupid". "Manusia begitu mudah diperbudak oleh uang dan kepopuleran". Sehingga harus rela melakukan apapun demi uang....uang....uang, dan uang.

I Love Menara FM Bali n Prestasi Anak Indonesia

Wah....cukup lama juga nggak posting blog. Setelah lihat kalender ternyata udah 3 Minggu fakum di blog. Its ok,karena banyak kesibukan yang membuatku jadi nggak sempat buat posting tulisan. yaaah, gimana lagi di kantor banyak kegiatan off air, memikirkan ide-ide cemerlang buat perusahaan, pokoknya banyak hal. Ternyata pusing juga kalo gawe di 2 tempat, meskipun yang satu tidak begitu terlalu menuntut banyak kerja, hanya ricek karyawan, edit tulisan, udah dech bahkan nggak harus dateng ke tempat kerja, asalkan semua ok dan waktu terbit nggak telat, beres dah.

Namun beda di media radio, dimana saya saat ini bekerja. Lagi butuh kosentrasi serius. Kebetulan lagi banyak agenda Off air serta memikirkan program-program baru. Mengingat sekarang lagi dalam tahap perubahan ke arah yang lebih baik. Inilah asiknya dan disinilah tantangannya. Tetap semangat, maju terus dan pantang untuk menyerah. "Hidup Menara FM Bali, dan Maju terus PRESTASI anak Indonesia". Sukses buat semuanya.

KIAT Enam Jurus Meliput Konflik

Delapan tahun paska tumbangnya Soeharto, konflik di tanah air masih tak padam. Mulai Aceh, Poso, Ambon sampai Papua, benturan terus berkobar. Mau tidak mau, jurnalis terseret ke garis depan. Bagaimana sih meliput konflik dan tak jadi korban?

SEJAK awal berdirinya, organisasi jurnalis sedunia, International Federation Journalist (IFJ), menaruh perhatian lebih pada keselamatan jurnalis yang meliput di daerah konflik. Karena itulah, berdasarkan rangkuman pengalaman jurnalis senior di berbagai media internasional, lembaga ini getol merilis panduan peliputan di daerah konflik, yang terus diperbarui sesuai perkembangan terkini.

Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah enam jurus peliputan di daerah konflik, berdasarkan pelatihan jurnalis sadar konflik yang diadakan IFJ di Sri Lanka. Negara di kaki anak benua India itu memang berpuluh tahun dikoyak konflik dengan gerilyawan Tamil.

Keenam jurus ini layak diperhatikan jurnalis di tanah air. Meski bisa jadi anatomi konflik di negeri kita berbeda, tapi pedoman umum ini bisa jadi kompas dalam melaporkan situasi berbahaya. Berikut keenam kiat itu:

Pertama, jurnalis harus mengerti konflik yang diliputnya. Dengan memahami apa yang menjadi akar masalah, maka jurnalis juga bisa mengerti dan menganalisa berbagai kemungkinan jalan keluar atas konflik itu.

Kedua, jurnalis harus membuat berita dengan berimbang. Untuk mencapai taraf imparsialitas yang optimal, jurnalis harus melaporkan segala sesuatu yang ada atau yang terjadi dalam peliputannya di daerah konflik, dengan jernih dan jelas.

Ketiga, jurnalis harus memberitakan atau melaporkan latar belakang dan semua kasus yang berkaitan dengan konflik itu, secara akurat. Tanpa kenal lelah, jurnalis harus terus mengingatkan masyarakat apa yang jadi pokok persoalan konflik. Ini jauh lebih penting daripada melulu menggambarkan efek negatif konflik tanpa gambaran penyelesaian, yang bisa jadi justru melanggengkan persoalan.

Keempat, jurnalis berkewajiban menggambarkan sisi kemanusiaan konflik. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengangkat cerita tentang trauma korban. Tapi, jangan sampai ada eksploitasi korban.

Kelima, jurnalis harus memberitakan usaha-usaha perdamaian sebagai jalan keluar konflik.
Keenam, jurnalis harus selalu berhati-hati menimbang dampak pemberitaannya dan pengaruhnya pada keselamatan jiwa mereka yang berada di daerah konflik.(kutip,www.geocities.com/ ajijakarta/juni/kiat.jpg)

AJI Serukan Perusahaan Media Hentikan Eksploitasi Jurnalis Daerah

Kediri (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri, Jawa Timur menyerukan kepada perusahaan media, baik lokal maupun nasional agar menghentikan eksploitasi terhadap para jurnalis di daerah.

"Tenaga mereka dieksploitasi habis-habisan, namun tidak ada kejelasan status dari perusahaan serta upah yang mereka dapatkan pun di bawah standar kebutuhan hidup layak," kata Ketua AJI Kediri, Dwijo Utomo, dalam refleksi Hari Buruh se-Dunia di Kediri, Kamis.

Menurut dia, hal itu sangat ironis, karena perusahaan media yang selama ini menyuarakan kepentingan publik, malah menerapkan sistem perbudakan terhadap tenaga kerjanya, terutama yang ada di daerah.

"Yang lebih menyedihkan lagi, selama ini jurnalis di daerah tidak mendapatkan jaminan keselamatan, entah itu berupa asuransi kecelakaan kerja, asuransi kesehatan, maupun asuransi jiwa," katanya didampingi Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Kediri, Imam Mubarok dan Ketua Divisi Advokasi, Hari Tri Wasono.

Menurut Diwjo, kenyataan ini mengakibatkan buruh media bernasib lebih tragis ketimbang buruh-buruh lainnya yang bekerja di berbagai sektor industri.

"Jurnalis dalam masyarakat kapitalistis termasuk buruh yang diperas keringatnya, sama dengan buruh manufaktur, pertambangan, jasa, dan sebagainya," kata wartawan Tempo itu.

Namun, modal dan kekuasaan telah menjadikan tirani yang semakin hari semakin mengikis nilai-nilai kehidupan jurnalis sebagai manusia yang bekerja di tengah tuntutan kesetiaan kepada publik.

Oleh sebab itu, AJI Kediri menyampaikan tuntutan kepada perusahaan media, yakni pemberian upah yang layak, penghapusan sistem kerja kontrak dan "outsourching", serta pembentukan serikat pekerja media.

"Selain itu, kami juga meminta rekan-rekan untuk menolak segala bantuan yang diberikan narasumber yang dapat mengebiri kebebasan pers," kata Dwijo Utomo menegaskan.(*)(kutip,http://www.antara.co.id)

Jurnalistik: Makna dan Ruang Lingkup


SECARA harfiyah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda, journalistiek artinya penyiaran catatan harian.

Secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.

Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).

Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” (expertise) atau “keterampilan” (skill) menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.

Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri.

Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.
Jurnalistik adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Jika setiap hari kita membaca, mendengar, atau menonton program berita, maka sadar atau tidak sadar kita terlibat dalam dunia jurnalistik, minimal sebagai objek atau sasaran (target audience) dari para jurnalis.

Bagi wartawan atau jurnalis, memahami ilmu dan teknik jurnalistik tentu merupakan hal yang mutlak. Namun demikian, masyarakat pembaca, pendengar, atau pemirsa pun penting mengenal dan memahami jurnalistik, setidaknya dasar-dasarnya, sehingga tidak menjadi objek pasif media massa, bahkan bisa menjadi pembaca, pendengar, dan penonton kritis dan aktif terhadap sajian berita yang disebarkan media.

Secara praktis, jurnalistik adalah disiplin ilmu dan teknik pengumpulan, penulisan, dan pelaporan berita, termasuk proses penyuntingan dan penyajiannya. Produk jurnalistik –utamanya berita—disajikan atau disebarluarkan melalui berbagai jenis media massa, termasuk suratkabar, majalah, radio, dan televisi serta internet. Setiap hari para wartawan meliput banyak peristiwa penting untuk diberitakan sehingga peristiwa itu pun diketahui publik secara luas.

Wartawan, dengan aktivitasnya tersebut, dapat disebut saksi sejarah sekaligus terus menuliskan catatan sejarah. Mantan editor Washington Post, Phil Graham, menggambarkannya sebagai “naskah kasar pertama sejarah” (a first rough draft of history) karena wartawan sering merekam peristiwa bersejarah pada saat kejadiannya dan pada saat yang sama harus membuat berita dalam tenggat waktu (deadline) yang pendek (Wikipedia).

Aktivitas jurnalistik utama adalah meliput dan memberitakan sebuah peristiwa melalui “rumus baku” berita 5W+1H –Who, siapa yang terlibat; What, apa yang terjadi; When, kapan terjadinya; Where, di mana terjadinya; Why, mengapa terjadi; dan How, bagaimana proses kejadiannya. Lebih dari itu, wartawan mempertimbangan peristiwa itu untuk diberitakan atau tidak, dengan parameter “nilai berita” (news value), seperti kepentingannya bagi publik (significace) dan dampaknya bagi masyarakat (effects), serta menarik-tidaknya bagi publik. Sering terjadi diskusi atau perdebatan di “ruang berita” (news room) atau ruang redaksi dalam proses seleksi peristiwa mana yang akan dipublikasikan.

Jenis (Media) Jurnalistik
Berdasarkan jenis media dan teknik publikasinya, jurnalistik dapat dibedakan menjadi jurnalistik cetak, jurnalistik elektronik, dan jurnalistik online.

Jurnalistik cetak (print journalism) adalah proses jurnalistik yang produk atau laporannya ditulis dan disajikan dalam media massa cetak (printed media), seperti suratkabar, tabloid, dan majalah.

Teknik penulisannya menggunakan “bahasa tulis” (written language) bergaya “bahasa jurnalistik” (language of mass media), bercirikan antara lain hemat kata, sederhana, mudah dimengerti, tidak mengandung arti ganda, dan umum digunakan.
Jurnalistik elektronik disebut juga Broadcast Journalism, yakni proses jurnalistik yang hasil liputannya disebarkan melalui media radio dan televis. Berita radio hanya menggunakan suara dan efek suara (auditory). Berita televisi dengan tambahan gambar (visual).

Wartawan radio –lebih sering disebut reporter— mengumpulkan fakta dan menyajikannya melalui suara (disuarakan, bercerita) saja. Sedangkan wartawan televisi –juga sering disebut reporter atau jurnalis televisi— melaporkan peristiwa dengan suara (kata-kata) sekaligus gambar hasil shooting dan/atau rekaman kamera video.
Teknik penulisan naskah radio/televisi menggunakan bahasa tutur, yakni rangkaian kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari (spoken words), sederhana, mudah dimengerti, ringkas, tidak rumit, dan jelas.

Sedangkan jurnalistik online (online journalism, cyber journalism) didefinisikan sebagai pelaporan peristiwa yang diproduksi dan disebarkan melalui internet atau proses jurnalistik yang hasilnya disajikan melalui media internet (cybermedia). Teknik penulisannya sama dengan jurnalistik cetak, yakni menggunakan tulisan (bahasa tulis), namun penulisannya lebih leluasa dan bisa jauh lebih lengkap dibandingkan naskah untuk media cetak atau elektronik. Umumnya media cetak, radio, dan televisi juga menyediakan media online.

Jurnalistik media online dapat hadir secara individual, bukan lembaga, dengan hadirnya blog atau weblog. Pemilik blog tidak hanya dapat menuliskan opini atau pengalalaman pribadi (diary), tapi juga mempublikasikan berita, artikel, dan feature layaknya media komersial. Kemunculan media online ini, termasuk weblog, dapay menumbuhsuburkan lahirnya “Indy Media” atau media independen, bahkan maraknya “underground media”, sekaligus mengimbangi “mainstream media”. (Dikutip dari buku Kamus Jurnalistik karya ASM. Romli, Penerbit: Simbiosa Bandung, 2008).*